KASUS
PEMBUNUHAN MUNIR
Munir Said Thalib, akan melanjutkan studi S2
bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda. Pukul 21.30 WIB.
Melalui pengeras suara, seluruh penumpang pesawat Garuda Indonesia nomor
penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam dipersilakan petugas bandara naik ke
pesawat.
Rombongan orang kulit putih bergegas, banyak
dari mereka adalah warga negara Belanda. Saat akan memasuki pintu pesawat,
Munir bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa dipanggil
Polly. Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang
terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka bertemu di
dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir
sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu
belakang. Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas
bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir
adalah 40G. Polly selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan
mengobrol dengan awak kokpit yang bertugas. Saat pesawat mundur dan siap
tinggal landas, Polly dipersilakan oleh purser Brahmanie untuk duduk di kelas
premium karena banyak tempat duduk yang kosong di kelompok termahal itu. Purser
adalah pimpinan kabin yang bertanggung jawab atas kenyamanan seluruh penumpang,
termasuk kepindahan tempat duduk mereka. Lelaki berseragam pilot kemeja putih
dan celana biru dongker itu pun duduk di 11B.
Ada dua cerita tentang kepindahan Munir ke
kelas bisnis itu, yaitu menurut kisah brahmanie dan polly. Dalam sidang PN
(Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi, “Saat sedang di depan
toilet bisnis, saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu, Saudara Polly,
sambil memegang boarding pass warna hijau, bertanya dalam bahasa Jawa, ‘Mbak,
nomer 40G nang endi? Mbak, aku ijolan karo kancaku,’ (Mbak, nomor 40G di mana?
Mbak, saya bertukar tempat dengan teman saya.) tanpa menyebutkan nama temannya.
Karena nama temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu siapa teman Saudara
Polly. Lalu, saya datangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di sana Saudara
Munir, yang lalu saya salami. Saudara Polly tidak duduk di 40G, tapi di premium
class nomor 11B atas anjuran saya karena banyak tempat duduk yang kosong.”
Sementara itu, dalam wawancara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Polly
bercerita, “Saya ketemu Munir di pintu pesawat Garuda Indonesia, di bandara
Jakarta. Dia tanya di pintu bisnis, ‘Tempat duduk ini di mana?’ Saya bilang,
‘Wah Bapak ini di ekonomi, cuma tempat duduknya yang mana saya tidak hafal.’
Kemudian, itu kan antre, ada banyak penumpang lain mau masuk, saya persilakan
duluan. Saya sebagai kru lebih baik ngalah, toh sama-sama naik pesawat, nggak
mungkin ditinggal. Setelah itu, karena saya mau masuk ke ruang bisnis, mau
melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada Munir, ‘Saya duduk di bisnis,
kalau Bapak mau di sini, ya Bapak tanya dulu sama pimpinan kabin, kalau
diizinkan ya silakan, bila tidak ya mohon maaf.’ Bahasa saya seperti itu.
Sudah, itu saja.” Sebelum pesawat tinggal landas, di kelas bisnis, Yeti
Susmiarti menyajikan welcome drink. Penumpang diminta mengambil gelas berisi
sampanye, jus jeruk, atau jus apel. Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman
pembuka, pramugari senior itu membagikan sauna towel (handuk panas), yang biasa
digunakan untuk mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar kepada penumpang
yang ingin membacanya. Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan
Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di pantry.
Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur Muhammad Taufik
itu tinggal landas. Untuk mengukur waktu tinggal landas dan mendarat secara
tepat, industri penerbangan menggunakan istilah block off dan block on. Block
off adalah waktu yang menunjukkan saat ganjal roda pesawat di bandara dilepas
dan pesawat mulai bergerak untuk terbang. Block on digunakan sebagai penanda
waktu kedatangan pesawat di bandara tujuan, yaitu saat ganjal roda pesawat
dipasang.
Sekitar 15 menit setelah tinggal landas,
pramugari menawarkan beberapa pilihan makanan dalam kemasan yang masih panas di
atas nampan. Di kursi 3K, Munir memilih mi goreng. Selesai mi, Yeti kembali
memberi tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan daripada welcome drink.
Pilihannya adalah minuman beralkohol (wiski, gin, vodka, red wine, white wine,
dan bir), soft drink, jus apel serta jus jeruk Buavita, jus tomat Berry, susu
putih Ultra, air mineral Aqua, teh, dan kopi. Munir kembali memilih jus jeruk.
Setelah mengarungi langit pulau Jawa, Sumatera, dan laut di sekitarnya selama 1
jam 38 menit, pesawat GA 974 mendarat di Bandara Changi, Singapura pukul 00.40
waktu setempat. Zona waktu Singapura satu jam lebih awal ketimbang WIB. Awak
kabin memberi penumpang waktu untuk jalan-jalan atau kegiatan apa saja di
Bandara Changi selama 45 menit.
Karena keluar dari pintu bisnis, Munir pun
lebih cepat mencapai Coffee Bean dibanding jika keluar dari pintu ekonomi. Usai
singgah di kedai itu, dia kembali menuju ke pesawat melaui gerbang D 42. Di
perjalanan menuju pintu Garuda, dia disapa oleh seorang laki-laki. “Anda Pak
Munir, ya?” “Iya, Pak.” “Saya dr. Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. Pak
Munir ngapain ke Belanda?” “Saya mau belajar, mau nge-charge satu tahun.” “Di
mana?” “Utrecht.” “Wah, Indonesia kehilangan, dong. Anda kan orang penting?”
komentar dr. Tarmizi. “Ya… ini perlu untuk saya, Pak,” timpal Munir sambil
tersenyum. “Anda ‘kan pernah nulis tentang Aceh. Bagaimana sih, bisa beres
nggak tuh?” tanya dokter lagi, sambil keduanya berjalan. “Ah, itu tergantung
niat, Dok.” “Maksudnya?” “Kalau niatnya membereskan, tiga bulan juga beres.”
Kemudian, dokter kelahiran Sumatera Barat itu mengeluarkan dompet dan memberi
Munir kartu namanya sambil berkata, “Kapan-kapan, bila perlu, silakan
menghubungi saya.” Munir menerima kartu nama dr. Tarmizi Hakim, lalu keduanya
berpisah. Si dokter masuk ke kelas bisnis, Munir menuju pintu bagian belakang
pesawat dan duduk di kursi 40G kelas ekonomi, sebagaimana tercantum di boarding
pass-nya. Karena Polly hanya sampai Singapura, Munir pun kembali ke tempat duduk
aslinya untuk penerbangan Singapura-Amsterdam. Total waktu transit di Changi
(antara block on dan block off) adalah 1 jam 13 menit, jumlah waktu yang
digunakan pesawat untuk pengisian bahan bakar, penggantian seluruh awak kokpit
dan kabin, serta penambahan penumpang dari Singapura.
Pesawat tinggal landas dari Changi pukul
01.53 waktu setempat. Penerbangan menuju Schipol ini dipimpin oleh Kapten
Pantun Matondang, dengan purser Madjib Nasution sebagai penanggung jawab
pelayanan penumpang. Sebelum pesawat mengangkasa, pramugari Tia mengecek
kesiapan penumpang untuk tinggal landas. Saat melakukan kewajibannya, dia
dipanggil oleh Munir yang meminta obat Promag. Pramugari bernama lengkap Tia
Dewi Ambara itu meminta Munir menunggu sebentar karena pesawat akan tinggal
landas dan seluruh awak kabin harus duduk di tempat masing-masing. Kira-kira 15
menit kemudian, setelah pesawat di ketinggian aman, Tia mulai membagikan
selimut dan earphone, dilanjutkan dengan makanan pengantar tidur. Saat Tia
sampai di 40G, lelaki berkaus abu-abu dan bercelana jins hitam itu sedang
tidur. Tia membangunkannya dan bertanya, “Apa Bapak sudah dapat obat dari teman
saya?” “Belum.” “Maaf, kami tidak punya obat.” Tia lalu menawarkan makanan,
yang ditolak oleh Munir. Namun, lelaki ini meminta teh hangat. Tia pun
menyajikan teh panas yang dituangkan dari teko ke gelas di atas troli. Munir
menerima uluran minuman itu, lengkap dengan gula 1 sachet. Ketika Tia
melanjutkan melayani penumpang lain, Munir melewatinya di gang menuju toilet.
Ini kali pertama Munir pergi ke toilet, sekitar 30 menit setelah tinggal
landas.
Tiga
jam sudah pesawat besar itu terbang dan sedang berada di langit India saat
Munir semakin sering pergi ke toilet. Ketika berjalan di gang kabin yang hanya
diterangi oleh lampu baca, dia berpapasan dengan pramugara Bondan Hernawa. Dia
mengeluhkan sakit perut dan muntaber kepada Bondan, serta memintanya
memanggilkan dr. Tarmizi yang duduk di kelas bisnis. Munir juga memberinya
kartu nama dokter itu. Sesuai prosedur untuk situasi semacam ini, Bondan pun
melapor kepada purser Madjib Nasution yang berada di Purser Station. “Bang, ini
Pak Munir penumpang kita sakit. Buang-buang air, muntah-muntah. Ini ada
kawannya, dokter, tapi saya tidak tahu duduk di mana. Tolong carikan tempat
duduknya,” ujar Bondan sambil menyerahkan kartu nama dr. Tarmizi. Madjib
mencari penumpang atas nama dr. Tarmizi Hakim di Passenger Manifest dan
menemukannya di kursi nomor 1J. Belum sempat dia beranjak, Munir sudah berada
di depan Purser Station. Sambil memegangi perut, Munir berkata, “Saya sudah
buang-buang air, pakai muntah juga. Mungkin maag saya kambuh. Seharusnya tadi
tidak minum jeruk waktu dari Jakarta-Singapura.” Munir pun melanjutkan
perjalanannya ke toilet. Madjib dan Bondan lalu mendatangi 1J dan mendapati dr.
Tarmizi sedang tidur di 1K, kursi sebelah kanannya yang, karena dekat jendela
dan dia dapati kosong, lalu dia duduki. “Dokter, dokter…,” Madjib berusaha
membangunkan. Keduanya mengulanginya beberapa kali dengan suara lebih keras,
tapi tidur dokter bedah itu tetap tak terusik. Madjib kembali berjumpa Munir di
gang dan memintanya membangunkan dr. Tarmizi sendiri, sementara Bondan pergi ke
pantry untuk melaksanakan tugas terjadwalnya. Akhirnya, dr. Tarmizi bangun.
Munir menjelaskan kondisi tubuhnya yang saat itu tampak sangat lemah dengan
berkata, “Saya sudah muntah dan buang air besar enam kali sejak terbang dari
Singapura.” Dr. Tarmizi mengusulkan kepada Madjib supaya Munir pindah tempat
duduk ke nomor 4 karena tempat itu kosong dan dekat dengannya. Munir pun duduk
di kursi 4D. Dr. Tarmizi mengambil posisi di samping kirinya. “Pak Munir makan
apa saja dua hari terakhir ini?” tanya dokter spesialis bedah toraks
kardiovaskular itu. Munir hanya diam, mungkin akibat nyeri perutnya. Pertanyaan
itu disambut oleh Madjib, “Pak Munir tadi sempat minum air jeruk, padahal Pak
Munir tidak kuat minum jeruk karena punya maag.” Munir tetap diam, tidak
berkomentar. “Kalau maag tidak begini,” kata si dokter, yang lalu bertanya
kepada Munir, “Anda makan apa?” “Biasa saja.” “Kemarin?” “Biasa saja.”
“Kemarinnya lagi?” “Biasa saja.” Dokter itu melakukan pemeriksaan secara umum
dengan membuka baju pasiennya. Dia lalu mendapati nadi di pergelangan tangan
Munir lemah. Dokter berpendapat Munir menunjukkan gejala kekurangan cairan
akibat muntaber.
Munir
kembali lagi ke toilet, diikuti dokter, pramugara, dan pramugari. Setelah
muntah dan buang air, dia pulang ke kursi 4D, sambil terus batuk-batuk berat.
Dr. Tarmizi meminta seorang pramugari mengambilkan Doctor’s Emergency Kit yang dimiliki
setiap pesawat terbang. Kotak itu dalam keadaan tersegel. Setelah melihat
isinya, dia berpendapat obat yang tersedia sangat minim, terutama untuk
kebutuhan Munir. Dr. Tarmizi memerlukan infus, tapi tidak ada. Tidak ada obat
khusus untuk sakit perut mulas, juga obat muntaber biasa. Si dokter pun
mengambil obat dari tasnya sendiri. Dia memberi Munir obat diare New Diatabs
serta obat mual dan perih kembung Zantacts dan Promag. Dua tablet untuk yang
pertama dan masing-masing satu tablet untuk dua terakhir. Dr. Tarmizi lalu
meminta seorang pramugari membuatkan teh manis dengan sedikit tambahan garam di
dalamnya. Namun, lima menit setelah meminum teh hangat itu, Munir kembali ke
toilet. Munir rampung setelah lima menit dan membuka pintu. Dr. Tarmizi lalu membimbing
Munir berjalan menyusuri gang sambil berkomentar kepada purser Madjib, “Mengapa
infus saja tidak ada padahal perjalanan sejauh ini?” Di kotak obat pesawat
terdapat cairan Primperam, obat antimual dan muntah, yang kemudian disuntikkan
dr. Tarmizi ke tubuh Munir sejumlah 5 ml (dosis 1 ampul). Injeksi di bahu kiri
ini cukup berpengaruh karena Munir kemudian tidur. Penderitaannya reda selama
2-3 jam.
Munir bangun dan kembali masuk ke toilet. Dia
cukup lama berada di dalamnya, kira-kira 10 menit, dan pintunya pun tidak
tertutup dengan sempurna. Madjib memberanikan diri melongok lewat celah yang
ada dan mengetuk pintu, tapi tidak ada respons dari orang yang sedang menderita
di dalam sana. Madjib membuka pintu lebih lebar dan melihat laki-laki 38 tahun
itu sedang bersandar lemas di dinding toilet. Purser Madjib langsung memanggil
dokter yang selama setengah jam terakhir paling tahu kondisi penumpangnya itu.
Dr. Tarmizi mengajak Madjib dan pramugara Asep Rohman mengangkat Munir kembali
ke kursi 4D. Setelah didudukkan di kursi, Munir menjalani pemeriksaan oleh dr.
Tarmizi, dalam gelapnya kabin pesawat yang hanya diterangi lampu baca.
Kegelapan ini keadaan yang tak bisa mereka atasi sebab demikianlah aturan
penerbangan. Pertama pergelangan tangan, lalu perut. Saat perutnya diketuk oleh
si dokter, Munir mengeluh, “Aduh, sakit,” sambil memegang perut bagian atas.
Madjib menyarankannya untuk ber-Istighfar, disambut Munir dengan menyebut,
“Astaghfirullah Haladzim, La Illaha Illa Llah,” sambil tetap memegangi perut.
Pramugari Titik Murwati yang berada di dekat situ berinisiatif memberi balsem
gosok, tindakan yang dia harap bisa membantu meredakan derita penumpangnya.
Atas persetujuan dr. Tarmizi, Titik menggosok perut Munir dengan balsem yang
bisa memberikan rasa hangat. Munir berkata dia ingin istirahat karena capek.
Dr. Tarmizi membuka kotak obat lagi dan mengambil obat suntik Diazepam. Kali
ini, dokter menyuntikkan 5 mg di bahu kanan, juga dengan bantuan purser Madjib.
Jarak antara kedua suntikan sekitar 4-5 jam. Sesudah suntikan obat penenang
itu, Munir masih merasakan mulas di perut. Lima belas menit berlalu dan Munir
ke toilet lagi, ditemani dokter, purser, serta pramugari. Di dalamnya, Munir
muntah, diikuti buang air. Kembali ke tempat duduk, Munir berkata dirinya ingin
tidur telentang. Purser dan seorang anak buahnya membentangkan sebuah selimut
sebagai alas di lantai depan kursi 4D-E dan sebuah bantal di atasnya. Dia pun
berbaring di sana, dengan dua selimut lagi diletakkan di atas tubuhnya agar
hangat. Dr. Tarmizi berkata kepada awak kabin itu supaya Munir dijaga, dan
bahwa dirinya ingin istirahat karena besok kerja (dia akan melakukan operasi
jantung di rumah sakit di Swole), sambil minta dibangunkan bila terjadi apa-apa
dengan Munir. Juga, dia berpesan agar mereka memastikan dokter dari Amsterdam
yang besok masuk ke pesawat membawa infus. Setelahnya, si dokter kembali ke
kursi di 1K dan tidur. Munir kembali bisa tidur, tapi sering berubah posisi,
dan posisi itu selalu miring, tidak pernah telentang atau tengkurap. Madjib
terus setia menjaga Munir sampai sekitar 3 jam sebelum pesawat mendarat di
Bandara Schipol, saat awak kabin menyiapkan makan pagi penumpang.Madjib
berjalan ke tempat duduk dr. Tarmizi dan bertanya apakah perlu dirinya
membangunkan Munir untuk sarapan, yang dijawab dengan anjuran untuk membiarkan
Munir tetap istirahat. Madjib pun melakukan tugas rutinnya mengawasi lingkungan
pesawat.
Sekitar
dua jam sebelum pesawat mendarat, jam 05.10 GMT atau 12.10 WIB, ketika sarapan
masih berlangsung dan lampu kabin masih menyala, Madjib kembali melangkahkan
kaki mengunjungi “tempat tidur” Munir. Di depan kursi 4D-E, dia melihat tubuh
Munir dalam posisi miring menghadap kursi, mulutnya mengeluarkan air liur tidak
berbusa, dan telapak tangannya membiru. Dia memegang tangan Munir dan mendapati
rasa dingin. Madjib yang kaget bergegas menuju kursi sang dokter. Dokter
memegang pergelangan tangan Munir sambil dengan tangan satunya menepuk-nepuk
punggung. Dia berulang-ulang berujar, “Pak Munir… Pak Munir….“ Akhirnya, memandang
purser Madjib, dr. Tarmizi berkata pelan, “Purser, Pak Munir meninggal… Kok
secepat ini, ya…. Kalau cuma muntaber, manusia bisa tahan tiga hari.” Purser
Madjib meminta Bondan dan Asep membantunya mengangkat tubuh kaku Munir ke
tempat yang lebih baik: lantai depan kursi 4J-K. Munir berbaring di atas dua
lembar selimut, kedua matanya dipejamkan oleh Bondan, tubuhnya ditutupi
selimut.
Bondan
dan Asep membaca surat Yassin di depan jenazah Munir Said Thalib, empat puluh
ribu kaki di atas tanah Rumania.
Pada
tanggal 12 November 2004
dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda)
menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang
telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu
memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman
penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus,
seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin
mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan
Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang
terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut.
Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun
hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008,
Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang
kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra,
ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti
kuat dan kesaksian mengarah padanya.Namun demikian, pada 31 Desember 2008,
Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah
ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar